SEJARAH DAN MASALAH PENDIDIKAN

SEJARAH DAN MASALAH PENDIDIKAN

Oleh : Aman 1
Abstrak
Untuk mendapatkan abstraksi dari tulisan ini, maka ungkapan Carr ini sangat relevan.”Sejarah adalah sebuah proses interaksi tanpa henti antara sejarawan dan fakta-faktanya, dan dialog yang tak berujung antara masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang”, (1965: 35). Dalam konsepsi ini, sejarah merupakan suatu diakronisme yang tidak pernah selesai selama manusia masih menyejarah man of action. Sejarah tidak pernah final, mati, dan tertutup, melainkan berkesinambungan. Oleh karena itu, sejarawan dan sejarah merupakan kesatuan yang utuh untuk menjadikan sejarah bernuansa. Sejarawan tanpa fakta tidak dapat berbuat apa-apa, dan fakta tanpa sejarawan juga tidak akan pernah hidup. Kaitannya dengan pendidikan, sejarah tidak akan berguna tanpa dijadikan pendidikan. Karena sejarah merekam kesadaran dari masa silam, merangsang perbuatan nyata pada masa kini, dan membangkitkan apresiasi untuk masa depan. Hanya melalui upaya memproyeksikan peristiwa masa lampau ke masa kini maka kita baru akan dapat berbicara tentang makna edukatif sejarah yang sesungguhnya. Dalam kemasakinianlah masa lampau itu benar-benar masa lampau yang penuh makna, the meaningful of past, dan bukan masa lampau yang mati dan final, the final and dead of past. Oleh karena itu, urgensi dari pendidikan sejarah tidak diragukan lagi. Karena Collingwood pun mengatakan “…knowing your self means knowing that you can do; and since nobody knows what he can do until he tries, the only clue to what man can do is what man has done. The value of history then, is that it teachs us what man has done and then what man…”(1973: 10).
*Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNY
2
A. Pengantar
Ketika orang sedang berkunjung ke Candi Borobudur, pasti
akan berkesimpulan dan mengatakan bahwa Borobudur itu besar dan
megah. Akan tetapi, yang sering dilupakannya ialah bahwa
Borobudur itu megah dan indah karena para arsiteknya yang handal.
Bahkan ia tidak memikirkan, tentang berapa banyak orang yang
bekerja untuk itu, dan berapa banyak kemungkinan korban manusia
yang telah ditelannya pada saat pembangunannya demi pengabdian
rakyat menurut konsep Dewa Raja. Orang hanya mengenal peristiwa-
peristiwa di permukaan, tetapi tidak mengetahui apa yang
memungkinkan peristiwa-peristiwa itu terjadi.
Bagi kalangan sejarawan dan pemerhati sejarah, suatu
peristiwa harus diterangkan secara lebih jauh dan lebih mendalam
mengenai bagaimana terjadinya, latar belakang kondisi sosial,
ekonomi, politik, dan juga kulturalnya. Hanya menceritakan
bagaimana terjadinya suatu peristiwa, belum memberikan eksplanasi
secara tuntas dan lengkap, karena sejarawan adalah wisatawan profesional dalam dunia lampau. 2 Oleh karena itu, sejarawan sejatinya
harus mampu menunjukkan pola-pola perkembangan, konteks dan
kondisi peristiwa, serta akibatnya, yang kesemuanya sukar diketahui
dan difahami oleh semua orang yang tidak mengalami sendiri
peristiwa-peristiwa itu. Walaupun sejarawan pada umumnya
termotivasi oleh rasa cintanya pada masa lampau dengan segala
2 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), p.27.
3
kunikannya serta oleh hasratnya untuk mendapatkan pengetahuan
yang lebih kongkret tentang peristiwa, pelaku, dan situasi sejarah,
hasil kerjanya pada dasarnya ditujukan untuk orang-orang dari
masanya sendiri. Perhatiannya terhadap masa lampau, terutama pada
periode yang ditandai oleh perubahan yang pesat dan revolusioner,
ketidakpastian yang bersifat konstan, dan krisis, terkait dan sebanding
dengan keterlibatan emosional mereka dengan masa kini dan dengan
pencarian mereka akan berbagai jawaban terhadap fenomena dan soal-soal yang melingkupi mereka 3.
B. Sejarawan : Hakim Masa Lampau
Dalam konteks akademis, sejarah merupakan suatu bidang ilmu
atau bidang studi yang memerlukan imajinasi kesejarahan yang kritis
dalam pengkajiannya. Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan
sejarah dalam setting historis yang fenomenologis. Sejarah tidak
selalu menyangkut “ past event” atau peristiwa-peristiwa masa
lampau, tetapi juga berhubungan atau menyangkut peristiwa-peristiwa mutakhir (current events) 4. Dalam konteks ini, sejarawan yang
bertindak sebagai duta dari masa lampau tidak hanya memberikan
informasi tentang negeri pada jaman tertentu, tetapi juga kondisi dan
situasinya, sistem ekonomi, sosial, dan politik, serta seluruh fenomena
3 Soedjatmoko, “Sejarawan Indonesia dan Jamannya”, dalam Soedjatmoko, dkk., (ed), Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), p.385. 4 Suyatno Kartodirjdo, “Teori dan Metodologi Sejarah dalam Aplikasinya”, dalam Historika, No. 11 Tahun XII. (Surakarta : Program Pascasarjana Uiversitas Negeri Jakarta KPK Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2000), p.31.
4
kehidupan masyarakat dalam pelbagai aspeknya. Dengan pelbagai
pendekatan dalam metodenya, sejarawan menjalankan tugasnya
dalam pelbagai lapangan. Hasilnya dapat memperdalam pengertian di
bidang politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Bagi seorang sejarawan sangatlah penting untuk menyadari
bahwa wujud dan isi cita-cita serta nilai-nilai bangsanya tidak bisa
dimengerti tanpa refleksi kepada sejarah dan pengalaman bangsa itu.
Oleh sebab itu, kesadaran sejarah merupakan orientasi intelektual,
suatu sikap jiwa yang perlu untuk memahami secara tepat paham kepribadian nasional. 5 Kesadaran sejarah sangat diperlukan sebagai
suatu cara untuk melihat realitas sosial dengan segala
permasalahannya bukan saja sebagai masalah-masalah moral yang
memerlukan jawaban ya atau tidak, putih atau hitam, melainkan agar
manusia mampu melihat masalah-masalah dinamika sosial termasuk
segi moralnya, sebagai suatu masalah-masalah historis yang memerlukan cara-cara penghadapan historis pula. 6
Sejarawan harus bisa menjangkau bagian dalam peristiwa
sejarah atau pikiran-pikiran yang melatarbelakanginya. Dalam
konteks ini Collingwood menekankan keistimewaan yang dapat
dilakukan oleh sejarawan terhadap objeknya yaitu dengan jalan re
thingking them in his own mind (memikirkan kembali dalam pikiran
5 Sartono Kartodirdjo, pembangunan Bangsa, Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional (Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1990), p.63. 6 Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan : Pendidikan Karangan (Jakarta : Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, (1983), p.69.
5
sejarawan sendiri). Dengan ini, sejarawan harus mampu meneropong
pikiran pelaku sejarah dengan cara mencoba menghidupkan kembali
pikiran-pikiran pelaku sejarah tersebut dalam pikirannya sendiri;
dengan kata lain secra imajiner sejarawan harus mencoba
menempatkan dirinya ke dalam pelaku-pelaku sejarah yang
bersangkutan. Ini dianggap merupakan unsur pokok dalam “cara
berpikir historis” (historical thingking) yang menjadi dasar dari “cara
menerangkan dalam sejarah” ( historical explanation). Dengan
demikian sejarawan dianggap perlu memperhatikan prinsip koligasi
dalam menerangkan peristiwa yaitu suatu prosedur menerangkan
suatu peristiwa dengan jalan menelusuri hubungan-hubungan
intrinsiknya dengan peristiwa-peristiwa lainnya dan menentukan tempatnya dalam keseluruhan peristiwa sejarah. 7
Dengan demikian, akan dapat ditentukan langkah nyata untuk
memajukan usaha merekonstruksikan sejarah. Dengan pengetahuan
masa lampau yang benar dan kongkret, akan dapat diwujudkan
identitas sejarah. Usaha untuk mencari relevansi dapat diartikan
bahwa sejarah harus menjadi bagian dari pengetahuan kolektif yang
mampu menjelaskan kesinambungan dan perubahan masyarakat
untuk kepentingan pembangunan. Jelaslah bahwa bahwa penulisan
sejarah, dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masa kini
7 Nugroho Notosusanto, “Teori Sejarah”, dalam I Gde Widja, Pengantar Ilmu Sejarah : Sejarah dalam perspektif pendidikan (Semarang : Satya Wacana, 1989), p.123.
6
beserta masalah-masalahnya baik dalam bidang politik maupun dalam lapangan ekonomi atau sosial. 8.
Sejarah sebagai disiplin ilmu yang otonom, perlu
dikembangkan menurut pola kecenderungan ilmu sejarah itu sendiri.
Penulisan sejarah konvensional, yang menyusun ceritera sejarah
secara deskriptif-naratif belaka, hanya menerangkan bagaimana suatu
peristiwa terjadi, dan tidak menyentuh substansinya. Supaya
mendapat gambaran yang lebih lengkap mengenai realitas tersebut,
orang perlu mendekati peristiwa sejarah dari pelbagai segi, yang
disebut pendekatan multidimensional dan sudah barang tentu
memerlukan metode dari pelbagai ilmu yang disebut metode Interdisipliner. 9 Dalam konsep ini metodologinya telah
disempurnakan untuk menggarap pelbagai permasalahan yang
kompleks. Dengan meminjam konsep dan teori dari ilmu-ilmu sosial
yang lain, alat analitik dan kerangka konseptualnya menjadi
sempurna. Bukti dari itu semua adanya pertumbuhan produksi yang besar dalam penulisan sejarah. 10
8 William H. Frederick dan Soeri Soeroto (ed). Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi (Jakarta : Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan dan Ekonomi Sosial, 1982), P.66. 9 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Hitoriografi Indonesia (Jakarta:PT Gramedia, 1982), pp.vi-vii. 10 Sartono Kartodirdjo, kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), p.193.
7
C. Sejarah Yang Bijaksana
Sementara itu orang bertanya apakah sejarah itu perlu. Untuk
membahas dan menjawab pertanyaan ini, perlulah kiranya historis-
kritis menelaahnya dari diakronisme ilmu sejarah itu. Orang tidak
akan belajar sejarah jika tidak ada manfaatnya. Kenyataan bahwa
sejarah terus ditulis orang di semua peradaban dan di sepanjang waktu, sebenarnya cuup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu. 11
Sejarah merupakan suatu penalaran kritis dan kerja yang cermat untuk
mencari kebenaran; suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab
dan asal-usul segala sesuatu; suatu pengetahuan yang mendalam
tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi.
Sejarah dapat mengajar man of action (manusia pelaku) tentang
bagaimana orang lain bertindak dalam keadaan-keadaan khusus,
pilihan-pilihan yang dibuatnya, dan tentang keberhasilan dan
kegagalan mereka. Tanapa mengenal sejarah, seseorang akan
kehilangan arah dan acuan dalam melaksanakan kebijaksanaannya.
Karena sejarah adalah jembatan penghubung masa silam dan masa kini, dan sebagai petunjuk arah ke masa depan. 12
Sejarah tidak hanya sekedar serangkaian peristiwa yang
mandek dan hanya menjadi ceritera pelipur lara, ceritera pembangkit
semangat untuk “kebesaran diri”, melainkan lebih dari itu, bahwa
sejarah terjadi di dalam “suatu lingkaran waktu yang satu”, yang 11 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1995), p.19. 12 Ahmad Syafii Maarif, Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1997), p.4.
8
selalu bergerak tanpa henti. Oleh karena itu waktu dapat dikatakan
selalu berada di dalam kekinian. Dalam kekiniannya yang selalu
bergerak itulah waktu dapat terbagi menjadi tiga masa : yaitu waktu
kini masa lampau, waktu kini sekarang, dan waktu kini yang akan dating. 13 Sejarah sebagai bagian masa dari gerak waktu tanpa henti,
memiliki dinamika yang menggerakkan. Generasi yang hidup dalam
“waktu kini-sekarang” mempunyai kedudukan strategis. Kedudukan
strategis yang dimaksud adalah generasi dalam “waktu kini-
sekarang”, adalah membangun kelangsungan hidup dirinya dengan
mengacu kepada “waktu kini-masa lampau” dan sekaligus berperan
dalam merancang kehidupan generasi yang hidup di dalam “waktu
kini-yang akan datang”.
D. Sejarah : Ilmu atau Seni
Dalam kajian ilmiahnya, muncullah kontropersi apakah sejarah
itu sebagai ilmu atau seni. Mungkin pendirian moderat yang
mengatakan bahwa sejarah mengandung kedua dimensi ilmu dan seni
pantas untuk dipertahankan. Dari sudut metode pengumpulan dan
penafsiran data, sejarah tidak berbeda dengan metode ilmu pada umumnya. 14 Tetapi dalam teknik penyusunan laporan, unsur imajinasi
sejarawan memegang peranan penting, dan tentu saja bukanlah
13 Anhar Gonggong, “Nasionalisme : Tinjauan Kritis dengan Wawasan Sejarah”, makalah seminar Nasional, Pengajaran Sejarah dan Nasionalisme (Yogyakarta : Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta, 1996, p.4. 14 Juliet Gardiner, What is History Today ? (London : Macmillan, 1988) pp. 69-72.
9
imajinasi liar. Imajinasi historis adalah imajinasi yang dikontrol oleh
hukum-hukum logika berdasarkan fakta. Karena imajinasi inilah
karya sejarah dirasakan juga sebagai karya sastra. Kemudian dalam
masalah bahasa, bahasa sejarah lebih dekat kepada bahasa novel
daripada bahasa teks ilmiah. Hal ini memang diperlukan, sebab bila
tidak, siapa yang akan betah membaca karya sejarah. Sekalipun
demikian, laporan sejarah senantiasa menuntut akurasi dalam bingkai
disiplin historis. Tinggi rendahnya kualitas sebuah karya sejarah akan
sangat tergantung kepada akurasi dan disiplin seorang sejarawan
dalam membangun laporannya. Dalam historiografi, dikenal istilah
sejarah yang baik dan sejarah yang papa (poor history). Yang paling
repot adalah “sejarah yang terburuk sekalipun tetaplah ia sejarah”, tulis Renier. 15
E. Problem Pendidikan Sejarah
Dalam konteks filosofis, sejarah dan pendidikan pada dasarnya
merupakan suatu kesatuan yang utuh dan menyeluruh. Pendidikan
merupakan pembagian dari sejarah. Fenomena ini dapat dimafhumi
karena sejarah berdimensi tiga waktu, yakni masa lalu untuk dapat
membicarakan masa kini, dan masa kini untuk masa depan.
Kepentingan terhadap masa lalu itu adalah mengungkapkan
significance dan menerangkannya sesuai dengan kesadaran
struktural, Imajinasi kesejarahan, serta menghapus cara berfikir
15 G. J. Renier, History: Its Purpose Method (New York: Herper and Row, 1995) p.22.
10
anakronistik, yaitu cara berpikir yang mencampuradukkan dimensi waktu yang berbeda-beda dalam suatu penyederhanaan.16 Sementara
itu pendidikan memiliki kadar relevansi dalam kehidupan. Pendidikan
sejarah menyeimbangkan aspek kuantitas dan kualitas bahannya,
menyajikan bahan mendalam dengan maksud memudahkan internalisasi nilai yang terkandung dalam bahan tersebut. 17
Untuk mengemas pendidikan sejarah sehingga dapat
menghasilkan internalisasi nilai, diperlukan adanya pengorganisasian
bahan yang beraneka ragam serta metode sajian yang bervariasi.
Disamping itu gaya belajar subjek-didik juga perlu mendapat
perhatian, agar tidak kehilangan bingkai moral dan apeksi dari seluruh
tujuan pengajaran yang telah ada. Karena tanpa bingkai moral,
pengajaran sejarah yang terlalu mengedepankan aspek kognitif tidak
akan banyak pengaruhnya dalam rangka memantapkan apa yang
sering disebut sebagai jati diri kepribadian bangsa. Untuk itu para
pengajar sejarah ataupun para peminat sejarah harus mempunyai
wawasan yang luas dan mendalam tentang hakekat suatu sejarah,
sehingga tujuan pendidikan secara substansial dapat tercapai.
Dalam dinamika kehidupan masyarakat yang serba berubah, menuntut suatu perubahan dalam kurikulum pendidikannya. 18
16 Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia : Kumpulan Tulisan (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1996), p.7. 17 Husain Haikal, Tut Wuri Handayani dalam Pendidikan Sejarah : Suatu Penelitian Kepustakaan (Jakarta : PPLPTK, 1989), p.8. 18 Allan C.Ornstein and Daniel U Levine, An Introduction to the Fondations of Education, Third Edition (Boston: Houghton Mifflin Company, 1996)
11
Pendidikan sejarah merupakan bagian integral dari usaha penanaman
nilai-nilai yang fungsional untuk menanamkan pengetahuan. Dalam
pengembangan kurikulum pendidikan sejarah, perlu dilakukan sesuai
dengan kriteria yang dikembangkan yang sesuai dengan ciri-ciri fleksibelitas, realistic, dan berorientasi pada kepentingan ke depan. 19
Dalam kaitan ini, pendidikan sejarah perlu mentransfer nilai-nilai etik
dan moral yang mendasari cara berpikir, cara bersikap, dan
berperilaku seseorang untuk mewujudkan keharmonisan kehidupan
individu, kelompok masyarakat atau bangsa dalam membangun
perdamaian, toleransi dan kesediaan menerima perbedaan.
Jika ditinjau dari segi kurikulum yang terakhir, pengajaran
sejarah di Indonesia mempunyai kedudukan yang cukup pasti.
Kurikulum pendidikan sejarah di perguruan tinggi telah menggariskan
dan mengarahkan peserta didik untuk berpikir komprehensif dan
kritis. Tetapi, akhir-akhir ini tampaknya pengajaran sejarah yang
dilaksanakan di berbagai jenjang pendidikan tinggi memberi kesan
yang kuat hanya bersifat kognitif dan cenderung bersifat hapalan.
Pendidikan sejarah dilakukan secara terisolasi dari kenyataan
kekinian. Dalam hal ini setidaknya ada empat komponen yang saling
berkait yang menjadi penyebab mengapa pengajaran sejarah itu tidak
atau kurang efektif.
19 Hafid Abbas, “Dasar Filosofis Kurikulum Sejarah”, dalam Simposium Pengajaran Sejarah : Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998), p.85.
12
Pertama , adalah komponen tenaga pengajar sejarah yang pada
umumnya miskin wawasan kesejarahan. Salah satu penyebab utama
dari kemiskinan wawasan ini adalah kemalasan intelektual untuk
menggali sumber sejarah, baik yang berupa benda-benda, dokumen,
maupun literatur, Pengajar sejarah harus kaya informasi, tidak saja
tentang masa lampau yang sarat dengan berbagai tafsiran, tetapi juga
tentang masa kini yang penuh dinamika dan serba kemungkinan, konstruktif maupun destruktif. 20 Pengajar sejarah yang baik adalah
mereka yang mampu merangsang dan mengembangkan daya
imajinasi peserta didik sedemikian rupa hingga cerita sejarah yang
disajikan, dirasakan senantiasa menantang rasa ingin tahu. Karena
sejarah adalah panorama kehidupan yang penuh warna.
Kedua , adalah komponen peserta didik . Sikap maupun
persepsi yang kurang positif peserta didik terhadap pengajaran
sejarah, akan sangat berpengaruh terhadap hasil tujuan pembelajaran.
Tidak sedikit peserta didik yang hanya mengejar nilai dan popularitas,
untuk kegunaan sesaat. Padahal substansi yang sesungguhnya adalah
khasanah keilmuan yang ia pelajari untuk dikembangkan dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, shingga nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya dapat diinternalisasikan. Sejarah adalah guru
kebijaksanaan yang sejati.
20 Ahmad Syafii Maarif, “Historiografi dan Pengajaran Sejarah Indonesia”, Makalah dalam Seminar Nasional tentang Demitologi Pemahaman Sejarah Masa Kini dalam Rangka Pendewasaan Pengetahuan Sejarah Bangsa (Padang :FPIPS IKIP Padang, 1995), p.9.
13
Ketiga, adalah metode pengajaran sejarah yang pada
umumnya kurang menantang daya intelektual peserta didik. Untuk
melibatkan subjek-didik dalam tataran intelektual dan emosional
dalam pengajaran sejarah adalah barang tentu bukan jamannya lagi
dengan menggunakan metode dongeng yang diselimuti oleh pelbagai
peristiwa ajaib, mistis, dan supranatural. Kalau metode itu yang
digunakan justru bertentangan dengan tujuan pengajaran sejarah itu
sendiri. Memang dengan menggunakan metode dongeng peserta didik
banyak yang tertarik, tetapai metode itu justru tidak menjadikan
dirinya sebagai sosok manusia yang menyejarah, karena menganggap
bahwa pelbagai pengaruh sejarah berada di luar dirinya.
Keempat, adalah komponen buku-buku sejarah dan media
pengajaran sejarah. Untuk sejarah Indonesia, telah ada sejarah
nasional yang jumlahnya enam jilid itu. Buku itu sebenarnya dapat
menolong, sekalipun di sana sini masih ada celahnya yang perlu
dilengkapi dengan sumber-sumber lain. Tetapi pendekatan yang
terlalu Indonesia-sentris seperti yang terdapat dalam buku sejarah
nasional itu, harus disikapi secara hati-hati. Pendekatan itu dapat
menimbulkan kecenderungan “memberhalalkan” masa lampau suatu
bangsa, apalagi bila anyaman masa lampau itu sarat oleh mitos yang
bisa saja melumpuhkan daya kritis peserta didik. Sebenarnya buku-
buku teks lainnya telah bermunculan, tetapi hampir-hampir tidak ada
yang menggunakan pendekatan moral-saintifik terhadap perjalanan
sejarah bangsa. Dalam pada itu, literature tentang sejarah umum
14
masih amat sedikit, padahal fungsinya sangat penting. Sejarah
nasional khususnya dianggap mempunyai nilai didaktif-edukatif bagi
pembentukan jati diri bangsa dan pemersatu berdasarkan atas pengalaman kolektif bernegara dan berbangsa. 21
F. Pemecahan Problem Pendidikan Sejarah
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, heterogen, plural,
dan memiliki karakteristik masyarakat yang berbeda-beda. Ini
merupakan ciri khas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk.
Dalam perjalanan sejarah panjangnya, dinamika bangsa ini belum
mencapai tingkat yang signifikan, jika dibandingkan dengan negara-
negara Asia sekalipun seperti Malaysia, Singapura, Jepang, dan lain
sebagainya. Sebenarnya, kemajemukkan bangsa ini merupakan modal
yang sangat potensial untuk memupuk persatuan dan kesatuan, dan
dalam rangka memperkokoh integritas dan kepribadian bangsa. Tetapi
jika modal yang besar itu tidak disikapi secara positif oleh komponen
bangsa ini, maka justru akan mengakibatkan hal yang sebaliknya,
akan menjadi bom waktu yang mengerikan, dimana setiap saat akan
menimbulkan ledakan hebat yang mengakibatkan tercerabutnya
integrasi bangsa ini.
Pada saat bangsa Indonesia menghadapi setumpuk
permasalahan yang disebabkan oleh berbagai krisis yang melanda,
21 Helius Syamsudin, “Penulisan Buku Teks Sejarah : Kriteria dan Permasalannya”, Dalam Simposium Pengajaran Sejarah : Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), p.103.
15
maka tantangan dalam menghadapi suatu era globalisasi yang
bercirikan keterbukaan dan persaingan bebas kian mendesak. Mau
tidak mau bangsa Indonesia harus berupaya keras untuk
meningkatkan kemampuan dan daya saing sumber daya manusianya
dalam percaturan internasional. Dalam jangka waktu yang relatif
mendesak Indonesia harus mampu mempersiapkan sumber daya
manusia yang profesional, tangguh, dan siap pakai. Untuk
mewujudkan kondisi tersebut, sumber daya manusia Indonesia perlu
memiliki bekal kemampuan intelektual dan daya pikir serta daya
inovasi yang tinggi, juga memiliki pengetahuan, dan kebiasaan
menerapkan sikap moral yang baik. Cara-cara berpikir baru dan
terobosan-terobosan baru harus diperkenalkan dan diciptakan untuk
mengatasi permasalahan pendidikan pada masa sekarang dan masa
yang akan datang. Dengan kata lain, reformasi pendidikan dengan
berbagai segmen-segmennya merupakan suatu kebutuhan dan juga suatu imperative action 22 .
Sistem pengajaran sebagai bagian integral dari sistem kegiatan
pendidikan, merupakan fenomena yang harus diperbaiki dan
dikembangkan oleh pihak-pihak yang terkait dan berkepentingan. Hal
ini menyangkut kurikulum, metode, media pengajaran, materi
pengajaran, kualitas guru, dan lain sebagainya sehingga tercipta
sistem pengajaran yang baik dan berorientasi ke masa depan. Dengan
demikian perlu dikembangkan prinsip-prinsip belajar yang
22 Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan . Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 2000, p.158.
16
berorientasi pada masa depan, dan menjadikan peserta didik tidak
hanya sebagai objek belajar tetapi juga subjek dalam belajar.
Pendidikan tidak lagi berpusat pada lembaga atau guru yang hanya
akan mencetak para lulusan yang kurang berkualitas, melainkan harus
berpusat pada siswa sebagai pusat belajar, yang tidak hanya “disuapi”
dengan materi pengajaran dari guru-guru, tetapi juga harus
memberikan kesempatan kepada para siswa untuk bersikap kreatif
dan mengembangkan diri sesuai dengan potensi intelektual yang
dimilikinya.
Sistem pengajaran yang baik seharusnya dapat membantu
mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Meskipun proses belajar mengajar
tidak dapat sepenuhnya berpusat pada siswa seperti pada pendidikan
terbuka, tetapi yang perlu dicermati adalah bahwa pada hakekatnya
siswalah yang harus belajar dan mengembangkan diri. Dengan
demikian proses belajar mengajar perlu berorientasi pada kebutuhan
dan kemampuan siswa. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam
proses belajar mengajar harus dapat memberikan pengalaman belajar
yang menyenangkan dan berguna bagi siswa. Guru perlu memberikan
bermacam-macam situasi belajar yang memadai untuk materi yang
disajikan, dan menyesuaikannya dengan kemampuan serta
karakteristik siswa sebagai subjek-didik.
Mengajar merupakan suatu aktivitas profesional yang
memerlukan keterampilan tingkat tinggi dan mencakup hal-hal yang
17
berkaitan dengan pengambilan keputusan-keputusan 23 . Sekarang ini
guru lebih dituntut untuk berfungsi sebagai pengelola proses belajar
mengajar yang melaksanakan tugas yaitu dalam merencanakan,
mengatur, mengarahkan, dan mengevaluasi. Keberhasilan dalam
belajar mengajar sangat tergantung pada kemampuan guru dalam
merencanakan, yang mencakup antara lain menentukan tujuan belajar
siswa, bagaimana caranya agar siswa mencapai tujuan tersebut, sarana
apa yang diperlukan, dan lain sebagainya. Dalam hal mengatur, yang
dilakukan pada waktu implementasi apa yang telah direncanakan dan
mencakup pengetahuan tentang bentuk dan macam kegiatan yang
harus dilaksanakan, bagaimana semua komponen dapat bekerjasama
dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Guru bertugas
untuk mengarahkan, memberikan motivasi, dan memberikan inspirasi
kepada siswa untuk belajar. Memang benar tanpa pengarahan pun
masih dapat juga terjadi proses belajar, tetapi dengan adanya
pengarahan yang baik dari guru maka proses belajar dapat berjalan
dengan lancar. Sedangkan dalam hal mengevaluasi, termasuk
penilaian akhir, hal ini dimaksudkan apakah perencanaan, pengaturan,
dan pengarahannya dapat berjalan dengan baik atau masih perlu
diperbaiki.
Dalam proses belajar mengajar, guru perlu mengadakan
keputusan-keputusan, misalnya metode apakah yang perlu dipakai
untuk mengajar mata pelajaran tertentu, alat dan media apakah yang
23 Winata Putera, Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud, 1992, p.86.
18
diperlukan untuk membantu siswa membuat suatu catatan, melakukan
praktikum, menyusun makalah diskusi, atau cukup hanya dengan
mendengar ceramah guru saja. Dalam proses belajar mengajar guru
selalu dihadapkan pada bagaimana melakukannya, dan mengapa hal
tersebut perlu dilakukan. Begitu juga dalam hal evaluasi atau
penilaian dihadapkan pada bagaimana sistem penilaian yang
digunakan, bagaimana kriterianya, dan bagaimana pula kondisi siswa
sebagai subjek belajar yang memerlukan nilai itu.
Dalam rangka pengembangan pengajaran sejarah agar lebih
fungsional dan terintegrasi dengan berbagai bidang keilmuan lainnya,
maka terdapat berbagai bidang yang seyogianya mendapat perhatian,
yaitu: pertama, untuk menjawab tantangan masa depan, kreativitas
dan daya inovatif diperlukan agar bangsa Indonesia bukan sekedar
manjadi konsumen IPTEK, konsumen budaya, maupun penerima
nilai-nilai dari luar secara pasif, melainkan memiliki keunggulan
komparatif dalam hal penguasaan IPTEK. Oleh karenanya, kreativitas
perlu dikembangkan melalui penciptaan situasi proses belajar
mengajar yang kondusif di mana guru mendorong vitalitas dan
kreativitas siswa untuk mengembangkan diri. Siswa perlu diberi
kesempatan untuk belajar dengan daya intelektualnya sendiri, melalui
proses rangsangan-rangsangan baik yang berupa pertanyaan-
pertanyaan maupun penugasan, sehingga siswa dapat melihat suatu
hal dari berbagai sudut pandang dan dapat menemukan berbagai
alternatif pemecahan masalah yang dihadapi.
19
Kedua, siswa akan dapat mengembangkan daya kreativitasnya
apabila proses belajar mengajar dilaksanakan secara terencana untuk
meningkatkan dan membangkitkan upaya untuk kompetitif. Oleh
karena itu, proses belajar mengajar yang memberi peluang kepada
siswa untuk menyelesaikan tugas secara kompetitif perlu
disosialisasikan, kemudian juga perlu adanya penghargaan yang layak
kepada mereka yang berprestasi. Hal ini akan berdampak positif
terhadap terbentuknya rasa percaya diri pada siswa. Pada gilirannya,
pengalaman ini selanjutnya dapat menjaga proses pembentukan
kemandirian. Dalam hal ini siswa juga perlu dilibatkan dalam proses
belajar mengajar yang memberikan pengalaman bagaimana siswa
bekerja sama dengan siswa yang lain seperti dalam hal berdiskusi,
membuat artikel kelompok, pengamatan, wawancara, dan sebagainya
untuk dikerjakan secara kelompok. Pengalaman belajar seperti ini
selanjutnya akan dapat membentuk sikap kooperatif dan ketahanan
bersaing dengan pengalaman nyata untuk dapat menghargai segala
kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Ketiga, dalam proses pengembangan kematangan
intelektualnya, siswa perlu dipacu kemampuan berfikirnya secara
logis dan sistematis. Dalam proses belajar mengajar, guru harus
memberi arahan yang jelas agar siswa dapat memecahkan suatu
persoalan secara logis dan ilmiah. Oleh karena itu siswa perlu
dilibatkan secara aktif dalam proses belajar mengajar melalui
pemberian tugas. Tugas tidak terlalu berat tetapi dapat memacu daya
20
berfikir siswa. Salah satu aspek yang penting adalah bagaimana siswa
dapat terlatih berpikir secara deduktif-induktif. Artinya, dalam proses
belajar mengajar siswa perlu diarahkan sedemikian rupa sehingga
siswa dapat mempelajari materi pelajaran melalui pengalaman.
Dengan cara seperti ini mereka dapat secara langsung dihadapkan
pada suatu realita di lapangan. Seperti halnya siswa disediakan mata
pelajaran yang bersifat khusus yang memberikan pengalaman,
berdiskusi, penelitian, dan lain sebagainya yang diarahkan untuk
menarik kesimpulan baik deduktif maupun induktif.
Keempat, siswa harus diberi internalisasi dan keteladanan,
dimana siswa dapat berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar.
Fenomena ini dalam hal-hal tertentu dapat membentuk semangat
loyalitas, toleransi, dan kemampuan adaptabilitas yang tinggi. Dalam
hal pendekatan ini perlu diselaraskan dengan kegiatan proses belajar
mengajar yang memberi peluang kepada mereka untuk berprakarsa
secara dinamis dan kreatif. Dengan demikian akan tercapai kualitas
proses dan hasil belajar yang berorientasi pada pencapaian tujuan
yang jelas, dengan melibatkan siswa secara maksimal melalui
berbagai kegiatan yang konstruktif, sehingga pengalaman tersebut
dapat mengantar siswa dalam suatu proses belajar yang kondusif dan
kreatif.

G. Hakekat Pendidikan Sejarah
21
Pengajaran sejarah sebagai sub-sistem dari sistem kegiatan
pendidikan, merupakan sarana yang efektif untuk meningkatkan
integritas dan kepribadian bangsa melalui proses belajar mengajar.
Keberhasilan ini akan ditopang oleh berbagai komponen, termasuk
persepsi guru yang positif terhadap pengajaran sejarah dengan
kurikulum baru. Sistem kegiatan pendidikan dan pengajaran adalah
sistem kemasyarakatan yang kompleks, diletakkan sebagai suatu
usaha bersama untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dalam rangka untuk membangun dan mengembangkan diri 24 . Dalam konteks yang
lebih sederhana, pengajaran sejarah sebagai sub sistem dari sistem
kegiatan pendidikan, merupakan usaha pembandingan dalam kegiatan
belajar, yang menunjuk pada pengaturan dan pengorganisasian
lingkungan belajar mengajar sehingga mendorong serta
menumbuhkan motivasi peserta didik untuk belajar dan
mengembangkan diri. Di dalam pengajaran sejarah, masih banyak
kiranya hal yang perlu dibenahi, misalnya tentang porsi pengajaran
sejarah yang berasal dari ranah kognitif dan afektif. Kedua ranah
tersebut harus selalu ada dalam pengajaran sejarah. Pengajaran sejarah
yang mengutamakan fakta keras, kiranya perlu mendapat perhatian
yang signifikan karena pengajaran sejarah yang demikian hanya akan
menimbulkan rasa bosan di kalangan peserta didik atau siswa dan
24 Banathy, Bela H., A.Systems View of Education: Concepts and Principles for Effective Practice . Englewood Cliffs: Educational Technology, 1992: 175.
22
pada gilirannya akan menimbulkan keengganan untuk mempelajari sejarah 25 .
Apabila sudah disadari hubungan erat antara sejarah dengan
pendidikan, memang belum ada jaminan bahwa makna dasar dari
sejarah telah bias diwujudkan untuk menunjang proses pendidikan itu.
Masih diperlukan proses aktualisasi nilai-nilai sejarah dalam
kehidupan yang nyata. Dengan kata lain, sejarah tidak akan berfungsi
bagi proses pendidikan yang menjurus ke arah pertumbuhan dan
pengembangan karakter bangsa apabila nilai-nilai sejarah tersebut
belum terwujud dalam pola-pola perilaku yang nyata.
Menurut Dennis Gunning, secara umum pengajaran sejarah
bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik, dan
menyadarkan peserta didik untuk mengenal diri dan lingkungannya,
serta memberikan perspektif historikalitas. Sedangkan secara spesifik,
lanjut Gunning, tujuan pengajaran sejarah ada tiga yaitu, mengajarkan
konsep, mengajarkan keterampilan intelektual, dan memberikan informasi kepada peserta didik 26 . Dengan demikian, pengajaran
sejarah tidak bertujuan untuk menghafal pelbagai peristiwa sejarah.
Keterangan tentang kejadian dan peristiwa sejarah hanyalah
merupakan suatu tujuan. Sudah barang tentu tujuan di sini dikaitkan
dengan arah baru pendidikan modern, yaitu menjadikan peserta didik
mampu mengaktualisasikan diri sesuai dengan potensi dirinya dan 25 Soedjatmoko, “Kesadaran Sejarah Dalam Pembangunan”, dalam Prisma No.7. Jakarta :LP3ES, p.67 26 Gunning Dennis, The Teaching of History, London: Cronhelm, 1978, pp.179- 180.
23
menyadari keberadaannya untuk ikut serta dalam menentukan masa
depan yang lebih manusiawi bersama-sama dengan orang lain.
Dengan kata lain adalah berupaya untuk menyadarkan peserta didik
akan historikalisasi diri dan masyarakatnya.
Tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kondisi yang ada
sangat mungkin untuk tercapai karena seorang pengajar sejarah
sebagai organisator dan fasilitator menempati posisi yang strategis
dalam proses belajar mengajar. Posisi strategis seorang pengajar
sejarah sebaiknya disertai dengan kemampuan atau kompetensi yang
memadai, seperti mampu mengenal setiap peserta didik yang
dipercayakan kepadanya, memiliki kecakapan memberi bimbingan,
memiliki pengetahuan yang luas mengenai bidang ilmu yang
diajarkan, dan mampu memilih strategi belajar mengajar secara tepat 27 . Menurut Preire, yang paling penting adalah bahwa pendidikan
termasuk pengajaran sejarah haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri 28 . Tujuan pendidikan sejarah
tersebut memang harus melalui suatu proses, di mana dalam proses
itulah yang tidak jarang menjadikan pendidik sejarah dalam proses
belajar mengajarnya hanya terkungkung oleh pelbagai perubahan pragmatis 29 . Maka sering dijumpai adanya pengajaran sejarah yang
27 Winarno Surakhmad, Metodologi Pengajaran Nasional , Jakarta: UHAMKA, 2000, p.14. 28 Freirre, Paulo, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, alih bahasa Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, p.ix. 29 Hariyono, “Pengajaran Sejarah dan Egenwelt Subjek-Didik”, dalam Historika. Surakarta: PPS Pendidikan Sejarah IKIP Jakarta KPK UNS.
24
mengutamakan pada hapalan materi sejarah, karena yang dikejar
adalah materinya itu sendiri. Pengajar sejarah yang demikian itu
sebenarnya telah terperangkap dalam bidang gelap, karena tidak
mampu menjangkau sesuatu yang ingin dicapainya.
Fenomena itu muncul karena adanya kekuatan atau perangkap
yang secara tidak kentara tetapi pasti menjebak pengajar sejarah,
seperti adanya birokratisasi dalam pengajaran, mekanisme tes yang
seragam dan mengutamakan ranah kognitif, target penyelesaian
pengajaran sesuai dengan yang tercantum dalam kurikulum, dan lain
sebagainya. Menghadapi pelbagai hal tersebut menjadikan sebagian
besar pengajar sejarah berada dalam suatu fellings of powerlessness
(rasa tak berdaya) menghadapi dunianya. Apalagi masih adanya
kecenderungan dari kelompok yang dominan yang lebih menekankan
pada stabilitas, maka kajian materi sejarah secara kritis dan kreatif
hanya dirasakan sebagai utopia belaka. Dalam konteks yang demikian
itu barangkali perlu suatu pendekatan struktural, yang menekankan
pada aspek sistem dalam mempengaruhi kesadaran individu.
Pengajaran sejarah hendaknya diselenggarakan sebagai suatu
avontuur bersama dari pengajar dan yang diajar. Dalam konsep ini,
maka bukan hafalan fakta, melainkan riset bersama antara pengajar
dan peserta didik menjadi model utama. Dengan jalan ini, maka
peserta didik langsung dihadapkan dengan tantangan intelektual yang
memang merupakan ciri khas dari sejarah sebagai ilmu. Demikian
25
juga dilibatkan secara langsung pada suatu engagement baru dalam arti sejarah untuk hari ini 30 .
Meskipun metode yang diajurkan tersebut cukup baik, namun
pengajar sejarah yang hendak mencobanya perlu mempertimbangkan
akan kegagalan atau keberhasilannya. Dengan kata lain, suatu metode
yang dipilih harus selalu dipertimbangkan segi efektivitas dan
efisiensinya. Keterlibatan peserta didik secara lebih aktif merupakan
kecenderungan baru dalam proses belajar mengajar. Kecenderungan
semacam ini mungkin sudah banyak dilaksanakan oleh para pengajar
sejarah, meskipun perlu dibuktikan kebenaran dan kesungguhannya.
Apabila hal itu benar, maka peserta didik diharapkan akan lebih
mampu untuk memahami hakekat belajar sejarah dan sekaligus
merasa terlibat dalam proses belajar sejarah. Hal itu dilakukan oleh
pengajar sejarah dengan memeriksa kembali berbagai informasi dalam sumber-sumber belajar yang diandalkan 31 .
Dalam kegiatan belajar mengajar sejarah, seorang guru harus
mampu menciptakan proses belajar mengajar yang dialogis, sehingga
dapat memberi peluang untuk terjadinya atau terselenggaranya proses
belajar mengajar yang aktif. Dengan cara ini, peserta didik akan
mampu memahami sejarah secara lebih benar, tidak hanya mampu
menyebutkan fakta sejarah belaka. Pemahaman konsep belajar sejarah
yang demikian, memerlukan pendekatan dan metode pengajaran yang 30 Soedjatmoko, “Kesadaran Sejarah Dalam Pembangunan”, dalam Prisma No.7. Jakarta :LP3ES, p.67. 31 G.Moedjanto, “Reformasi Pengajaran Sejarah Nasional”, Kompas 1 Mei 1999, p.19.
26
lebih bervariasi, agar peserta didik benar-benar dapat mengambil manfaat dari belajar sejarah 32 . Hasil belajar yang dimaksud adalah
terjadinya perubahan dan perbedaan dalam cara berpikir, merasakan,
dan kemampuan untuk bertindak serta mendapat pengalaman dalam
proses belajar mengajar.
Untuk itu, pengajaran sejarah yang bersifat destruktif
sebagaimana sering dijumpai di lapangan perlu diubah. Hal ini sejalan dengan pemikiran Sartono Kartodirdjo 33 , yang mengungkapkan
bahwa:“Apabila sejarah hendak tetap berfungsi dalam pendidikan,
maka harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi sosial dewasa ini.
Jika studi sejarah terbatas pada pengetahuan fakta-fakta, akan menjadi
steril dan mematikan segala minat terhadap sejarah”.
Sependapat dengan Sartono Kartodirdjo, Ahmad Syafii Maarif
mengatakan bahwa, “pengajaran sejarah yang terlalu mengedepankan
aspek kognitif, tidak akan banyak pengaruhnya dalam rangka
memantapkan apa yang sering disebut sebagai jati diri dan kepribadian bangsa” 34 . Lebih jauh diungkapkan pula bahwa
pengajaran sejarah nasional yang antara lain bertujuan untuk
mengukuhkan kepribadian bangsa dan integritas nasional sebagai
bagian dari tujuan pergerakan nasional yang dirumuskan secara padat
32 Abu Suud, “Format Metodologi Pengajaran Sejarah Dalam Transformasi Nilai dan Pengetahuan”. Makalah Seminar Nasional 1994 IKIP Yogyakarta. 33 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia, 1982, p.6. 34 Ahmad Syafii Maarif, Historiografi dan Pengajaran Sejarah . Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1995, p.1.
27
dalam Sumpah Pemuda 1928 diperlukan pemilihan strategi dan
metode mengajar yang tepat. Aspek kognitif dan aspek moral perlu
dianyam secara koherensi dan integratif, masing-masing saling
menguatkan, tanpa mengorbankan watak ilmiahnya.
F. Penutup
Dalam kajian ilmiah akademis, anggapan bahwa semua
manusia adalah sejarawan bagi dirinya sendiri kurang berlaku.
Bahkan sejarawan tidak identik dengan ahli sejarah. Ahli sejarah
adalah orang yang mengetahui banyak tentang pelbagai teori dan
konsep sejarah. Namun demikian ahli yang bersangkutan belum tentu
menjadi sejarawan. Aksentuasi pada ahli sejarah adalah bidang
pengetahuan. Sedangkan sejarawan adalah orang yang menghasilkan
karya sejarah. Aksentuasi pada sejarawan pad ahasil karyanya. Orang
yang menghasilkan karya sejarah walaupun yang bersangkutan bukan
ahli sejarah, sebagaimana yang sering dilakukan oleh peminat sejarah
(sejarah amatir)- disebut sejarawan. Dalam konsep yang smakin
meluas, sejarawan, sejarah, dan pendidikan memiliki ikatan nilai dan
moral, dimana satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Karena
sejarah tidak akan berguna kalau tidak dijadikan pendidikan, baik
pendidikan nilai, moral, politik, penalaran, keindahan, masa depan,
dan lain sebagainya.
28
Kepustakaan
Abu Suud, “Format Metodologi Pengajaran Sejarah Dalam Transformasi Nilai dan Pengetahuan”. Makalah Seminar Nasional 1994 IKIP Yogyakarta. Ahmad Syafii Maarif, Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1997).
Ahmad Syafii Maarif, “Historiografi dan Pengajaran Sejarah Indonesia, Makalah dalam Seminar Nasional tentang Demitologi Pemahaman Sejarah Masa Kini dalam Rangka Pendewasaan Pengetahuan Sejarah Bangsa (Padang :FPIPS IKIP Padang, 1995).
Allan C.Ornstein and Daniel U Levine, An Introduction to the Fondations of Education, Third Edition (Boston: Houghton Mifflin Company, 1996).
Anhar Gonggong, “Nasionalisme : Tinjauan Kritis dengan Wawasan Sejarah”, makalah seminar Nasional, Pengajaran Sejarah dan Nasionalisme (Yogyakarta : Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta, 1996).
Bela H.Banathy, A A.Systems View of Education: Concepts and Principles for Effective Practice . (Englewood Cliffs: Educational Technology, 1992). Dennis Gunning, The Teaching of History. (London: Cronhelm, 1999). Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Alih bahasa agung Prihantoro. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999). G. J. Renier. History: Its Purpose Method (New York: Herper and Row, 1995).
G.Moedjanto, “Reformasi Pengajaran Sejarah Nasional”, dalam Kompas 1 Mei 1999.
Hafid Abbas, “Dasar Filosofis Kurikulum Sejarah”, dalam Simposium Pengajaran Sejarah : Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998).
29
Hariyono, “Pengajaran Sejarah dan Egenwelt Subjek-Didik”, dalam Historika (Surakarta: PPS UNS).
Helius Syamsudin, “Penulisan Buku Teks Sejarah : Kriteria dan Permasalannya”, Dalam Simposium Pengajaran Sejarah : Kumpulan Makalah Diskusi (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998).
Husain Haikal, Tut Wuri Handayani dalam Pendidikan Sejarah : Suatu Penelitian Kepustakaan (Jakarta : PPLPTK, 1989).
Juliet Gardiner, What is History Today ? (London : Macmillan, 1988).
Nugroho Notosusanto, “Teori Sejarah”, dalam I Gde Widja, Pengantar Ilmu Sejarah : Sejarah dalam perspektif pendidikan (Semarang : Satya Wacana, 1989).
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bintang Budaya, 1995).
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992).
Sartono Kartodirdjo, pembangunan Bangsa, Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional (Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1990).
Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Hitoriografi Indonesia (Jakarta:PT Gramedia, 1982).
Sartono Kartodirdjo, kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990)..
Soedjatmoko, “Sejarawan Indonesia dan Jamannya”, dalam Soedjatmoko, dkk., (ed), Historiografi Indonesia Sebuah Pengantar (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995).
Soedjatmoko, Dimensi Manusia dalam Pembangunan : Pilihan Karangan (Jakarta : Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, (1983).
Soedjatmoko, “Kesadaran Sejarah Dalam Pembangunan”, dalam Prisma No.7. Jakarta LP3ES.
30
Suyatno Kartodirjdo, “Teori dan Metodologi Sejarah dalam Aplikasinya”, dalam Historika, No. 11 Tahun XII. (Surakarta : Program Pascasarjana Uiversitas Negeri Jakarta KPK Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2000).
Taufik Abdullah, Sejarah Lokal di Indonesia : Kumpulan Tulisan (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1996).
William H. Frederick dan Soeri Soeroto (ed). Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi (Jakarta : Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan dan Ekonomi Sosial, 1982).
Winata Putera US, Model-Model Pembelajaran. (Jakarta: Depdikbud, 1992).
Winarno Surakhmad, Metodologi Pengajaran Nasional. Jakarta: UHAMKA, 2000.
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan . (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 2000).
Tentang Penulis
Tentang Penulis: Aman, M.Pd. Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta
Menamatkan Program S-1 pada Jurusan Pendidikan
Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Yogyakarta Tahun 1999, dan Menyelesaikan Program
Pascasarjana S-2 Program Studi Pendidikan Sejarah
Universitas Negeri Jakarta Tahun 2002.
31

Leave a comment